Minggu, 31 Oktober 2010

Steve Nash Tergila-gila Sepak Bola



Minggu, 13 Desember 2009
Berharap memiliki sebagian kecil saham klub Tottenham Hotspurs.
Meskipun basket telah melambungkan namanya hingga menjadikannya masuk dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia pada Mei 2006, tetapi hidup Nash tak bisa lepas dari sepak bola.

Bintang NBA Steve Nash ternyata begitu tergila-gila pada sepak bola. Kecintaannya itu bisa disetarakan dengan gairah menggebunya saat memainkan peran sebenarnya sebagai pebasket ternama NBA. Bagi Nash, basket dan sepak bola sama-sama mendarah daging dalam kehidupannya. Bedanya hanya dipisahkan oleh status pebasketnya. Padahal jika bisa menjalani dua profesi olah raga sekaligus, dia pun berhasrat menjadi pesepak bola.

Begitu melekatnya sepak bola dalam hati Nash bisa jadi karena pengaruh keluarga. Pengaruh ayahnya yang berasal dari Tottenham, London, bagian wilayah Inggris yang menjadikan sepak bola sebagai olah raga nomor satu. Pengaruh sang ayah inilah asal muasal kedekatan Nash dengan sepak bola.

Sedangkan ibunya yang asli Wales, makin mendukung minat Nash. Dari Eropa, keluarganya sempat hidup di Benua Afrika. Di Johannesburg, Afrika Selatan, Nash lahir pada 7 Februari 1974. Saat dia berusia 18 bulan, keluarganya pindah ke Regina, Saskatchewan, kemudian ke Vancouver sebelum akhirnya menetap di Victoria, British Columbia, Kanada.

Di masa kecilnya, Nash lebih dulu mengenal dan bermain sepak bola serta ice hockey. ”Mudah bagi saya mengatakan sepak bola karena lapangannya selalu hijau. Saya suka bermain basket dan bola. Dua permainan itulah yang saya suka,” ucapnya di espn. Nash tidak bermain basket sampai umur 12 tahun. Namun dia pernah mengatakan pada ibunya suatu saat akan menjadi bintang NBA. Mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan seperti sekarang.

Kentalnya nilai olah raga yang mengiringi pertumbuhannya dengan latar belakang orang tua asal Eropa, dan pengalaman masa kecil berpindah dari satu negara ke negara lain, diakui Nash berpengaruh besar menyuburkan kecintaanya pada sepak bola.
“Pastinya. Kata pertama yang saya ucapkan adalah “gol”. Ayah saya adalah pemain bola semi-profesional. Dia berasal dari London, tapi pindah ke Afrika Selatan di mana saya lahir.
Di Afrika dia menjadi pemain sepak bola profesional sebelum ke Kanada. Jadi, saya tumbuh dalam keluarga Inggris di Kanada dan sepak bola adalah hasrat terbesar ayah saya,” papar Nash seperti dikutip vanityfair.com, akhir Juni lalu.

Saat itu, dia dan Claudio Reyna, mantan gelandang Red Bulls (Major League Soccer (MLS) memprakarsai pertandingan sepak bola amal antar dua tim yang masing-masing diperkuat delapan pemain. Bertempat di Sarah Roosevelt Park, Manhattan, berhadapan tim yang diperkuat bintang-bintang sepak bola menghadapi pebasket ternama, di antaranya, Thierry Henry, Javier Zanetti, Ryan Babel, Tony Parker, Jason Kidd, dan Grant Hill.

Nash menginginkan sepak bola, bukan olah raga lainnya, termasuk hoki yang populer di Kanada, untuk laga amal ini. ”Alasannya karena saya sungguh mencintai sepak bola dan sepertinya mementingkan diri sendiri jika saya membawa pemain-pemain profesional sepak bola dari Eropa dan bermain dengan mereka. Tapi saya menyukainya dan sebenarnya ini keinginan yayasan saya,” papar point guard Phoenix Suns itu.
Yayasannya, Steve Nash Foundation didirikan pada 2001. Bertujuan membantu anak-anak dari masalah kelaparan, sakit, penyiksaan dan terlantar. Pendidikan juga menjadi perhatian penting. Yayasan ini dipusatkan di Phoenix, Arizona dan British Columbia. Tahun lalu yayasan ini dianugerahi Steve Patterson Award untuk Sports Philanthropy. Nash juga mendirikan Jim Jennings Memorial Endowment Fund sebagai bentuk penghargaan kepada para volunteer di Santa Clara University yang bekerja untuk tim basket lebih dari 20 tahun.

Kebintangan Nash sangat membantunya dalam mencari dana demi tujuan kemanusiaan. Bersama Yao Ming, keduanya berhasil menarik uang senilai 2,5 juta dollar Amerika Serikat (AS) saat mengikuti laga eksebisi dengan tim basket China, September 2007.
Jiwa sosialnya juga menuntun Nash bergabung dengan GuluWalk, sebuah organisasi Kanada yang membantu anak-anak korban perang di Uganda.

Kegiatan lain Nash, mensponsori Steve Nash Youth Basketball League di British Columbia yang sukses menarik 10 ribu partisipan. Atas berbagai sumbangsihnya kepada dunia melalui aktivitas kemanusiaan disertai daya tariknya sebagai pebasket top dunia, Nash masuk dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia versi majalah Time, Mei 2006.

Penghargaan tersebut pantas didapatkan pria berhati emas ini. Kepeduliannya akan nasib sesamanya yang berkekurangan, salah satunya dipengaruhi penyakit spondylolisthesis yang dideritanya. Penyakit ini membuat otot keram dan punggung sakit.

Sportif, suka bekerja keras, dan tak mudah menyerah, terpatri erat dalam jiwa Nash. Sifat-sifat dasarnya ini membuat Nash cocok dengan nuansa olah raga dan melihat impian sebagai hal yang mungkin terjadi jika diperjuangkan. Memiliki sebagian kecil saham Spurs adalah salah satu keinginan Nash, mengikuti hasrat sang ayah yang merupakan suporter setia tim London Utara itu.

“Saya suka menjadi pemilik klub. Itulah keinginan saya jika popularitas saya berakhir. Sepanjang hidup saya adalah seorang suporter dan sangat menyenangkan jika bisa membantu Spurs sukses,” tekad Nash yang tercatat sebagai salah satu pemilik klub bola Kanada, USL-1 Vancouver Whitecaps FC.




Nama Lengkap : Stephen John Nash
Tempat Tanggal Lahir : Johannesburg, Afrika Selatan, 7 Februari 1974
Kewarganegaraan : Kanada
Istri : Alejandra Amarilla
Anak : Putri kembar, Lola dan Bella

Karier :

Tim : Phoenix Suns (1996-1998)
Dallas Mavericks (1998-2004)
Phoenix Suns (2004-sekarang)



Penghargaan

NBA Most Valuable Player (2005, 2006)
NBA All Star (2002-2003), (2005-2008)
All-NBA First Team (2005-2007)
All-NBA Second Team (2008)
All-NBA Third Team (2002-2003)
J.Walter Kennedy Citizenship Award (2007)
Lou Master Trophy Winner (2005)
Lionel Conacher Award (2005-2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar